Posisi Pendapat Mazhab Dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah

Posisi Pendapat Mazhab Dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Virgi Lisna Wardhani *)

Perkara mazhab dalam tubuh Muhammadiyah merupakan satu topik menarik yang banyak dipertanyakan, baik oleh masyarakat awam maupun warga Muhammadiyah sendiri, baik oleh orang yang memang ingin tahu maupun oleh orang yang sengaja memaksudkannya sebagai hujatan. Hal ini disebabkan karena putusan dan fatwa Muhammadiyah yang dalam masalah keagamaan tertentu tampak mengikuti mazhab yang satu, tetapi dalam persoalan lain mengikuti mazhab yang berbeda, atau bahkan tidak mengikuti pendapat mazhab mana pun. Apa yang secara lahiriah terkesan tidak konsisten ini mungkin akan menjadi lebih mengejutkan karena faktanya,  Muhammadiyah justru tidak bermazhab. Untuk sampai pada konklusi tersebut, maka akan dijelaskan tahap demi tahap sebagai berikut :

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Pengertian Mazhab

Secara etiomologi, mazhab berasal dari kata zahaba-yazhabu-ziha>ban-mazhaban yang berarti tempat pergi, yakni tempat perginya pikiran, masanya, dan kejadian-kejadiannya. Ada yang mengatakan bahwa mazhab merupakan singkatan dari ma> zahaba ilaihi lalu disingkat menjadi mazhab. Akan tetapi, Imam al-Munawwir menyatakan dalam kitab at-Tawqif bahwa kata mazhab digunakan dalam ranah hukum, artinya pergi dengan membawa hukum (berpendapat).

Secara terminologi, disitir dari pendapat Dasuki dalam Hasyiyahnya ketika mensyarah kitab al-Kabir, mazhab adalah:

ان مذهب مالك عبارة عما ذهب اليه من الاحكام الإجتهادية أي التي بذل وسعه في تحصيلها

Definisi lain dikemukakan oleh al-Khitab, bahwa mazhab ialah jalan dan tempat untuk pergi, yang kemudian menurut fuqaha secara ‘urf (umum) menjadi pendapat para imam berupa hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyyah.

Dengan demikian, mazhab bukanlah hukum yang sudah pasti dalam al-Qur`an dan as-Sunnah, tetapi merupakan kumpulan fatwa / pendapat yang bersifat ijtihadiyyah, inilah kata kuncinya.

Asal-Usul Mazhab

Term mazhab baru muncul setelah masa tabi’in, di mana berawal dari pendapat seorang mujtahid yang diikuti oleh murid-muridnya, lalu mereka menisbahkan dirinya kepada mujtahid tersebut. Penisbatan ini terus berlanjut dan pendapat sang mujtahid dijadikan sebagai pedoman secara turun temurun—meskipun tidak semuanya mengikuti secara mutlak—dan akhirnya terbentuklah suatu kelompok mazhab dengan menjadikan sang mujtahid sebagai imam mazhab. Namun, mujtahid yang pendapatnya diikuti tentu tidak hanya seorang, melainkan banyak. Keempat mazhab yang dikenal sekarang hanyalah empat dari sekian mazhab yang pernah ada. Terkait mengapa hanya empat mazhab saja yang masih eksis, itu disebabkan pengikut dari mazhab yang bersangkutan. Apabila banyak dari murid sang imam yang meneruskan pemikirannya, maka mazhab tersebut akan terus berkembang dan menjadi besar. Namun, jika tidak banyak murid yang meneruskannya, maka lambat laun mazhabnya akan mengecil dan hilang, seperti yang terjadi pada Mazhab Zahiri, Mazhab Ibnu Sirin, Mazhab al-Laitsi, dsb.

Haruskah seorang Muslim bermazhab ?

Mazhab belum dikenal pada masa Nabi saw dan masa sahabat. Bahkan pada masa imam mazhab sendiri pun belum terbayang akan terbentuk mazhab. Dari nalar sederhana ini sebenarnya sudah dapat diambil kesimpulan bahwa seorang Muslim sejatinya tidak harus bermazhab. Keempat imam mazhab juga pernah mengatakan satu pernyataan yang menyiratkan bahwa mereka sama sekali tidak mewajibkan dirinya untuk diikuti secara mutlak. Imam  Abu Hanifah pernah mengatakan, “Apabila aku mengatakan suatu pendapat yang menyelisihi al-Qur`an dan Sunnah maka tinggalkanlah pendapatku.”. Imam Malik mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, mungkin salah dan mungkin juga benar. Maka perhatikanlah pendapatku, selama pendapatku sesuai dengan al-Qur`an dan Sunnah maka ikuti. Jika tidak sesuai maka tinggalkan.” Lalu, kata Imam asy-Syafi’i, “Apabila engkau menemukan pendapatku menyelisihi Sunnah, maka ikutilah apa yang dikatakan Rasulullah dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.”. Lebih tegas lagi, Imam Ahmad menyatakan, “Janganlah engkau taklid kepadaku, demikian juga kepada Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, Imam Auza’i, dan Imam ats-Tsauri. Namun ikutilah dari mana mereka mengambil.”

Meskipun demikian, tentu tidak ada seorang pun yang meragukan kehebatan dan kefaqihan para imam mazhab, sehingga pendapat-pendapat mereka tidak dinafikan sepenuhnya, melainkan tetap digunakan sebagai referensi dan pedoman untuk melihat bagaimana hukum itu berjalan.

Apakah Muhammadiyah bermazhab?

Dalam hal ini, agaknya perlu ditegaskan ciri manhaj Muhammadiyah, yaitu tajdid, toleran, terbuka, dan tidak bermazhab. Makna “tidak bermazhab” di sini bukan berarti menolak seluruh pendapat mazhab, justru Muhammadiyah menempatkan pendapat ulama dalam kedudukan yang tinggi dalam mengambil kesimpulan hukum. Akan tetapi, sekali lagi Muhammadiyah menjadikannya sebagai referensi dan tolok ukur kebenaran tetap dikembalikan kepada al-Qur`an dan as-Sunnah.

Menanggapi hal ini, mungkin akan muncul pertanyaan, kalau begitu “Apakah Muhammadiyah itu mazhab baru ?” Jawabannya tentu tidak. Sebab, dikatakan oleh Prof. Syamsul Anwar bahwa syarat mazhab itu ada 3: (1) memiliki imam mazhab, (2) memiliki metode istinbat dan ijtihad, dan (3) memiliki pengikut. Dua syarat terakhir memang dimiliki oleh Muhammadiyah, tetapi Muhammadiyah tidak memiliki imam mazhab sehingga manhaj tarjih Muhammadiyah tidak dapat disebut mazhab. Muhammadiyah adalah sebuah organisasi yang memperjuangkan amar ma’ruf nahi mungkar. Fakta bahwa di dalam muhammadiyah ada pikiran, pendapat, dan fatwa, tidak lain itu adalah ijtihad.

Pengertian Manhaj dan Manhaj Tarjih Muhammadiyah

Syariat disebut sebagai ibtida>`ut} t}a>riq dan manhaj adalah at}-t}a>riq al-mustamir. Artinya, risalah yang diturunkan kepada Nabi saw itulah syariat. Kemudian syariat itu dipahami, itulah manhaj. Dari pengertian tersebut, Manhaj Tarjih Muhammadiyah didefinisikan sebagai cara atau pedoman beristinbat yang digunakan oleh para ulama Muhammadiyah dalam rangka melakukan tarjih (memilih yang lebih kuat) terhadap hukum.

Berbicara mengenai tarjih, dalam perkembangannya ia tidak lagi hanya berkutat pada persoalan kuat menguatkan, tetapi lebih cenderung pada aktivitas berijtihad yang sesungguhnya, yakni ijtihad jama’i. Ijtihad ini dilakukan dengan berpedoman pada al-Qur`an dan as-Sunnah serta mengacu pada pendapat imam-imam mazhab sebagai referensi, baik dari imam mazhab yang empat, selain imam mazhab yang empat, ulama-ulama kontemporer, dan bahkan ilmuwan yang takhassus dalam bidang hukum. Sebagai tambahan, tarjih bukanlah mazhab, tetapi manhaj. Tarjih berorientasi pada dalil dan istidlal, bukan qaul minal aqwal.

Kesimpulan

Posisi pendapat imam mazhab dalam manhaj tarjih Muhammadiyah sangat jelas dan clear, bahwa Muhammadiyah mengapresiasi pendapat para ulama dan menjadikannya referensi, tetapi ukuran kebenaran tetap berpatokan pada al-Qur`an dan as-Sunnah. Muhammadiyah tidak bermazhab tetapi bukan berarti menolak mazhab, sehingga coraknya bukan mazhabiy, tetapi ijtihadiy. Apabila terdapat putusan Muhammadiyah yang sama dengan pendapat mazhab tertentu, maka itu bukan menunjukkan bahwa Muhammadiyah mengikuti mazhab tersebut, tetapi itu adalah hasil ijtihad jama’i yang menguatkan pendapat dari mazhab tersebut.


Sumber: Pengajian Tarjih Edisi 109 “Posisi Pendapat Mazhab dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah”, diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=yTKLwnBNYmo

*) Virgi Lisna Wardhani, Thalibat Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait

Paling Banyak Dilihat