ads
Apa Hukum Bernyanyi Dalam Islam

Apa Hukum Bernyanyi Dalam Islam

Smallest Font
Largest Font

Assalamualaikum wr.wb

Tanya:

Advertisement
ads
Scroll To Continue with Content

Saya ingin menanyakan masalah nyanyian, karena acara televisi sekarang ini semarak dengan bermacam nyanyian. Pertanyaannya adalah:

  1. Apa hukumnya menyanyi, baik oleh perempuan maupun oleh laki-laki?
  2. Apa hukumnya mendengarkan nyanyian perempuan dan menikmati suaranya?
  3. Jika nyanyian itu dilarang untuk dinyanyikan atau didengarkan, bagaimana cara menghindarinya?
  4. Lagu apa yang boleh dinyanyikan atau didengarkan? (Wahriyadi, Jl. Tomaddulung No.3 Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan).

Jawab:

Islam adalah agama yang bersikap positif terhadap dunia. Islam bukanlah sebuah agama eksklusif yang menolak segala yang berbau duniawi demi mementingkan kehidupan akhirat semata. Menurut teologi Islam, dunia ini adalah anugerah Tuhan kepada manusia sebagaimana firman-Nya:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً (النّحل : ٢٩) 

"Dialah Allah yang telah menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu sekalian." (QS Al Baqarah: 29).

Sebagai anugerah Ilahi, dunia ini dalam pandangan Islam adalah baik; ia bukan suatu yang buruk, suatu tempat terbuang dari rahmat ilahi dan karenanya harus dijauhi. Oleh karena itu, dalam pandangan para ahli fiqih merumuskan pedoman bersikap dalam bentuk kaidah fiqiyah yang berbunyi:

الأَصلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَقُومَ دَلِيلُ عَلَى

التحريم.

Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah mubah (diperbolehkan) sampai terdapat dalil yang melarangnya.

Nyanyian dalam agama Islam termasuk dalam kategori urusan dunia dan terhadapnya berlaku kaidah fiqiyah di atas. Dengan kata lain, nyanyian itu pada asasnya diperbolehkan. Bahkan diperlukan sebagai ekspresi dari rasa keindahan yang dimiliki oleh manusia. Pemenuhan terhadap rasa keindahan ini merupakan kebutuhan yang tidak boleh diingkari jika kita hendak mengakui eksistensi manusia sebagai makhluk estetis. Para filosof hukum Islam merumuskan tiga skala prioritas kebutuhan manusia menurut hukum Islam, yang disebut **maslahah**, yaitu pertama, maslahah daruriyah yakni kebutuhan yang harus dipenuhi, kelangsungan hidup seseorang akan terancam atau menjadi tidak berarti apa-apa lagi; Kedua, **maslahah hajiyah**, yaitu kebutuhan yang juga harus dipenuhi, hanya saja apabila tidak terpenuhi, kelangsungan hidup seseorang tidak terancam. Akan tetapi ia akan menjadi sengsara, mengalami kesulitan dan hidupnya tidak wajar/normal; Ketiga, **maslahah tahsiniyah**, ialah kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi tidak menyebabkan kehidupan hidup seseorang dan tidak membuatnya sengsara dan berada dalam kesulitan. Kebutuhan ini sifatnya menyempurnakan yang pertama dan kedua. Dalam nyanyian sudah memenuhi maslahah yang ketiga ini. Oleh karena itu ia tetap sah dan mubah hukumnya dalam agama Islam. Tentunya, termasuk dalam maslahah tahsiniyah adalah keindahan suara yang berlebihan. Dan dalam hal ini terdapat hadits Nabi saw dinyatakan:

إِنَّ اللَّهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ (رواه مسلم)

"Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan." (HR Muslim; Sahih Muslim, I:59-60, hadits nomor 147).

Selain itu diriwayatkan pula bahwa Rasulullah saw menghadiri pesta nikah Rubayyi’ binti Mu’awwidz dimana beberapa wanita membawakan nyanyian untuk mengenang keluarga yang mati syahid dalam perang Badar. Salah seorang penyanyi tersebut minta supaya Rasulullah memerintahkan tentang kejadian besok. Rasulullah mengatakan: "Jauhi meramal dan terus sajalah bernyanyi". (Sahih al-Bukhari, VII: 167, hadits nomor 5147 "Kitab an-Nikah, Bab Darb ad-Duff"). Seni suara (nyanyian) sebagai ekspresi rasa indah pada manusia, dengan demikian tidak dapat dikatakan bertentangan dengan agama. Namun demikian memang perlu diperhatikan bagaimana suatu seni seperti nyanyian itu disajikan. Setiap karya seni memiliki unsur-unsur ketaatan dan visual. Apabila teks (isi) nyanyian tersebut mengajak orang kepada jalan yang maksiat atau dibawakan oleh seseorang, terutama wanita, dengan pakaian yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, maka hal seperti itu dilarang. Disini yang dilarang bukanlah nyanyian sebagai suatu ekspresi seni ansich melainkan cara-cara penampilan (visual) dan isi (tekstual) yang membawa kepada kemaksiatan.

Di zaman Imam para ulama, khususnya ahli-ahli fiqh, memang sebagian besar mengharamkan nyanyian. Imam asy-Syafi’i menyatakan bahwa nyanyian adalah permainan sia-sia (lahw) yang mirip kebatilan. Orang yang banyak mendengarkannya menjadi orang bodoh dan kesaksiannya di muka hakim tidak sah (karena dalam hukum Islam syarat menjadi saksi itu adalah adil dan orang yang banyak mendengarkan nyanyian itu acat keadilannya). Murid-murid asy-Syafi’i memangkan mendengarkan nyanyian. Imam Abu Hanifah menganggap nyanyian itu makruh (Itha’ Tullab, I: 77) dan fiqihnya, Zabidah). Sedang Ibnu Qudamah, (al-Mughni, Hajiyyah) dari madzhab Hambali menyatakan, memainkan alat musik seperti gambus, kecapi, gitar, rebab, seruling dan lain-lain adalah haram kecuali duff (tamboran), karena Nabi membolehkannya dalam pesta nikah. Tetapi dalam pesta perkawinan yang meriah (walimah) bisa juga diiringi musik (Ihya Ulumiddin, II: 40-41). Pandangan Islam seperti ini dapat dimengerti, karena mereka dan keadaan budaya dunia Islam pada waktu itu.

Keharaman nyanyian biasanya dihubungkan kepada ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan terlalu sempit dan kepada hadits-hadits yang tidak sahih. Sebagai contoh yang dijadikan dalil untuk mengharamkan nyanyian adalah firman Allah dalam al-Qur'an 31:6 sebagai berikut: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ ، وَيَتَّخِذَهَا هُرُوا ، أُولَبِك لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ (تمان ٦٠) "Dan di antara manusia ada orang yang memperjualbelikan perkataan yang tidak berguna (sia-sia) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah. itu olok-olokan. Mereka itu akan menerima adzab yang menghinakan." (QS Luqman : 6). Kata-kata "perkataan yang tidak berguna" (lahwul-hadits) dalam ayat ini ditafsirkan sebagai nyanyian. Penafsiran ini tidaklah sepenuhnya tepat, karena yang dimaksud dengan perkataan yang tidak berguna (sia-sia) itu sebenarnya adalah segala perkataan yang mengajak or- ang kepada kesesatan dan kemaksiatan, baik terdapat dalam nyanyian maupun dalam wacana lainnya. Jadi kalau teks nyanyian berisi perkataan yang baik dan tidak mengajak orang kepada kesesatan, maka tidak termasuk ke dalam larangan ayat tersebut. Selain itu, para ulama mengemukakan pula beberapa hadits yang menyatakan haramnya nyanyian, antara lain hadits Umamah al-Bahili yang diriwayatkan oleh at-Tabari (wafat 310 Hijriyah) ketika menafsirkan ayat di atas dalam kitabnya Jami'ul Bayan, Jld. VIII: 39. لَا يَحِلُّ تَعلِيمُ الْمُغَنِّيَاتِ وَلَا بَيْعُهُنَّ وَلَا شِرَاؤُهُنَّ حرام وممنهن "Tidak halal mengajari wanita bernyanyi, mengajari wanita bernyanyi, menjual serta membelinya, dan harga mereka itu haram". (HR at-Tabari).

 Hadits ini sangat dhaif, karena di dalam sanadnya terdapat serangkaian perawi, yaitu Abu al-Mahlab dari ‘Ubaidullah dari ‘Ali Ibnu Yazid yang seluruhnya cacat dan bahkan mereka tertuduh dusta. Kesimpulannya, mendengarkan nyanyian yang baik meskipun dibawakan oleh seorang wanita tidaklah haram menurut hukum agama Islam. Nyanyian yang dilarang adalah yang ditampilkan secara bertentangan dengan agama, seperti oleh penyanyi dengan pakaian minim dan berisi kata-kata yang menyesatkan dan maksiat.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait

Paling Banyak Dilihat