Mari Ketahui Beberapa Hal Mengenai Ibadah Qurban

Mari Ketahui Beberapa Hal Mengenai Ibadah Qurban

Smallest Font
Largest Font

Assalamualaikumwr.wb

Tanya:

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Mohon dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah qurban untuk dipedomani, yaitu tentang apa dan bagaimana qurban itu, siapa yang berkewajiban melaksanakannya, siapa yang berhak menerima daging qurban, bagaimana biaya pelaksanaannya serta bagaimana ketentuan mengenai kulit hewan qurban. (M. Yunus, Ketua Panitia Pelaksana Ibadah Qurban Persatuan Muslim Dipowitanan Yogyakarta (Pertanyaan mengenai kulit juga datang dari seseorang yang menyatakan sebagai hamba Allah, yaitu: Apakah kulit hewan qurban boleh dijual untuk keperluan sosial, seperti membayar listrik masjid, drumband dll?).

Jawab:

Secara singkat pertanyaan tersebut dapat kami jawab sebagai berikut:
   a. Secara bahasa, istilah qurban berasal dari kata qaruba, yaqrubu, qurbanan. Artinya, pendekatan diri. Menurut istilah agama, qurban ialah: menyembelih hewan pada hari nahr dan hari tasyriq, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan sebagai realisasi rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah.
   Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa melaksanakan qurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mentaati perintah-Nya, bukan dengan maksud yang lain. Dari segi waktu, penyembelihan yang dapat diklasifikasikan ke dalam ibadah qurban, dibatasi hanya selama hari nahr (tanggal 10 Dzulhijjah) setelah selesai melakukan shalat 'Id dan pada hari Tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah). Oleh karena itu, apabila penyembelihan dilakukan sebelum atau sesudah hari tersebut, sekalipun dimaksudkan untuk ibadah qurban, maka tidaklah termasuk dalam kriteria ibadah qurban. Demikian juga hewan yang dapat dijadikan qurban sudah ditentukan jenisnya, yaitu unta, sapi, kerbau, kambing atau domba. Oleh karena itu kalau hewan yang dijadikan untuk qurban itu berupa unggas, umpamanya, maka penyembelihan itu tidak termasuk dalam kriteria ibadah qurban.

b. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum melaksanakan qurban, ada yang mengatakan wajib, tapi ada juga yang berpendapat sunnah. Muhammadijiyah sendiri belum menentukan apa hukum melaksanakan qurban itu. Terlepas dari adanya perbedaan pendapat mengenai hukum melaksanakan qurban, tetapi yang jelas bahwa ibadah qurban itu diperintahkan oleh Allah, seperti dalam surat al-Kautsar (108) ayat 1 dan 2:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ ۝ ١ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ۝ ٢
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. (QS. al-Kautsar: 1 dan 2)

Demikian juga firman Allah dalam surat al-Hajj (22) ayat 36:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ ۖ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ۝ ٣٦
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta sebagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur". (QS. al-Hajj: 36).

Dalam pada itu Nabi saw bersabda:

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Barangsipa mendapatkan keluasaan (rizki), untuk berqurban tetapi tidak berqurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Sabda Nabi di atas menunjukkan betapa kuatnya perintah berqurban itu, sehingga Nabi mencela para sahabatnya yang mampu berqurban tetapi tidak mau melaksanakannya, dengan melarang mendekati mushallanya.

Orang yang diperintahkan untuk melakukan qurban adalah orang Islam yang mempunyai kemampuan. Mampu berqurban, baik karena mempunyai sendiri hewan qurban maupun dengan cara membeli. Termasuk dalam kriteria mampu, apabila hewan qurban itu didapat dengan cara menghitung. Asalkan ia mempunyai kemampuan untuk membayar hutang tersebut, maka qurban dengan dengan cara menghitung adalah diperbolehkan dan sah. Adapun yang berhak menerima daging qurban ialah fakir miskin dan sahibul qurban (orang yang berqurban) itu sendiri. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firma Allah surat al-Hajj ayat 36 di atas. Tidak ada nas yang sarif (tegas) yang mengatur berapa bagian yang diberikan kepada fakir miskin dan berapa bagian pula yang diambil sahibul qurban. Hanya saja menurut para ulama, sebagaimana dikemukakan oleh as-Sayyid Sabiq, dalam kitabnya Fiqh as-Sunnah, bahwa sahibul qurban berhak menerima sepertiganya (As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Dar al-Fikr, 1992, III: 278). Demikian juga tidak ada pembatasan bahwa fakir miskin itu harus yang beragama Islam. Oleh karena itu boleh juga fakir miskin yang tidak beragama Islam diberi daging qurban. Perlu mendapat perhatian bahwa daging qurban tidak boleh dijual, sekalipun hasilnya untuk kepentingan agama, sehingga apabila di tempat penyembelihan tidak ada fakir miskinnya, daging qurban tersebut harus diberikan kepada fakir miskin di tempat lain.
c. Mengenai biaya penyembelihan hewan qurban, pada dasarnya merupakan beban dari sahibul qurban. Oleh karena itu, apabila seseorang menyerahkan hewan qurban kepada Panitia Qurban dan Panitia Qurban memerlukan biaya untuk penyembelihan dan pengurusan daging qurban, maka Panitia Pelaksana bisa meminta biaya tersebut kepada sahibul qurban. Tidak boleh penyembelih atau yang mengurusi pembagian daging qurban diberi upah yang berupa daging qurban. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ali ra:
عَنْ عَلَى بْنِ أَبِي طَالِبِ قَكَ، أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أقيم لحومها وجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا عَلَى الْمَسَاكِينِ وَلَا أُعْطِيَ فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا مِنْهَا ( سلم عليه

"Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: Rasulullah saw menugaskan saya mengurus qurbannya dan membagi-bagikan daging, kulit dan bagian-bagian lainnya kepada fakir miskin dan saya tidak boleh memberi apapun dari hewan qurban itu kepada penyembelihnya". (HR. Bukhari dan Muslim).
d. Mengenai penggunaan kulit hewan qurban, harus diperhatikan bahwa inti ibadah qurban adalah memberi sadaqah kepada fakir miskin berupa daging qurban. Di dalamnya mengandung unsur ibadah dan sekaligus unsur menambah protein hewani bagi fakir miskin. Mengenai boleh atau tidaknya kulit hewan qurban itu dijual, tidak ditemukan ayat al- Qur'an yang secara definitif mengatur persoalan tersebut kecuali ayat yang membicarakan tentang kebolehan sahibul qurban memakan sebahagian dagingnya, yaitu selain ayat 36 surat al-Hajj di atas juga ayat 28 dari surat yang sama yang menyebutkan:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَابِسَ الْفَقِيرَ (الج ٢٨٠)
"Makanlah sebahagian dagingnya dan beri makanlah fakir miskin dengan daging itu". (QS. al-Hajj: ayat 28).

Dalam pada itu terdapat hadits Nabi yang membicarakan tentang kulit hewan qurban, yaitu hadits riwayat Ahmad:
نت رسول الله صلى الله عليه وسلم قو
تبيعوا لحوم واستمتعُوا بِجُلُودِهَا ، وَإِنْ أَطْعِتُم مِنْ كى
"Rasulullah saw bersabda: Janganlah kamu jual daging denda haji dan daging qurban, makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu dan ambillah manfaat kulitnya dan jika kamu diberi makan dagingnya makanlah jika kamu suka". (HR. Ahmad).
Hadits lain yang juga diriwayatkan Imam Ahmad menyebutkan:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَا تبيعُ الحُوْمَ الْهَدْيِ وَالْأَصَاحِي، وَكُلُوا وَتَصَدَقُوا وَاسْتَمَعُوا جُلُودِهَا وَلَا تَبِعُوهَا
) رواه أحمد)
"Rasulullah saw bersabda: Janganlah kamu jual daging denda haji dan daging qurban, makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu dan ambillah manfaat kulitnya dan janganlah kamu jual kulitnya." (HR. Ahmad).
Khitab dari kedua hadits di atas adalah sahibul qurban. Pada hadits pertama tidak disertai larangan menjual kulit, sedangkan hadits kedua disertai larangan menjual kulit hewan qurban. Apabila ada dua dalil yang satu tidak melarang dan yang lainnya melarang, maka dahulukan dalil yang mengandung larangan.
Larangan menjual kulit hewan qurban tersebut ditujukan kepada sahibul qurban, karena dikawatirkan akan adanya keinginan memiliki uang dari hasil penjualan kulit tersebut untuk kepentingan pribadi. Tetapi bagaimana kalau penjualan kulit hewan itu bukan untuk kepentingan pribadi? Sementara itu yang berjalan di masyarakat sekarang ini bahwa pengelolaan hewan qurban berikut penyembelihan dan pendistribusian dagingnya ditangani secara kepanitiaan, sehingga akan terkumpul kulit hewan qurban yang banyak. Meningat hal yang demikian, maka kulit hewan qurban dapat dijual dan uangnya bisa dibelikan daging lalu dibagikan lagi kepada fakir miskin atau bisa saja digunakan untuk kemaslahatan agama. Hanya saja untuk menentukan yang lebih maslahat dari dua kepentingan itu diserahkan kepada hasil musyawarah.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait

Paling Banyak Dilihat