Tarjih

Tarjih

MediaMU.COM

May 5, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Menghajikan Orang Lain 

Menghajikan Orang Lain 

Question: Bagaimanakah hukum nya menghajikan orang lain dan bagaimanakah caranya, dan berikan dalil atas nya!

Answer: Menghajikan Orang lain atau badal diperbolehkan dengan syarat dan ketentuan tertentu pada Muhammadiyah sendiri telah di atur yakni Badal haji hukum, waktu dan orang yang melakukan perubahan 

Badal haji adalah ibadah haji yang dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain yang wajib menunaikan ibadah haji tetapi karena orang tersebut sakit (cacat) sehingga orang tersebut tidak dapat melakukannya sendiri, pengorbanannya diserahkan kepada orang lain. Badal Hajj menjadi masalah karena ada beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang dapat dipahami bahwa seseorang hanya akan mendapat pahala dari hasil usahanya sendiri. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh beribadah atas nama orang lain, pahala ibadah tersebut menjadi milik orang yang melaksanakannya, bukan milik orang lain. Selain itu, terdapat hadis Nabi Shallallahu 'alayhi wa sallam yang menjelaskan bahwa seorang anak boleh menunaikan haji untuk orang tuanya atau seseorang dapat menunaikan haji untuk saudaranya yang meninggal karena sakit, usia tua, atau lanjut usia. meninggal, padahal dia diwajibkan untuk Adapun ayat-ayat al-Quran yang dimaksud antara lain:

  1. Surat al-Baqarah ayat 286:

… لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ … [البقرة: 286]

Artinya:“…ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya …” [QS. al-Baqarah (2): 286]

  1. Surat Yasin ayat 54:

فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [يس: 54]

Artinya: “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.” [QS. Yasin (36): 54]

  1. Surat an-Najm ayat 38 dan 39:

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى . وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى [النجم: 38-39]

Artinya: “(yaitu) bahwasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya.” [QS. an-Najm (53): 38-39]

Adapun hadis-hadis yang dapat dijadikan acuan atau memberi petunjuk dibolehkannya seorang anak menunaikan ibadah haji atas nama orang tuanya dan seseorang melaksanakan haji untuk saudaranya, di antaranya adalah:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَمَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَحُجَّ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ فَقَالَ اقْضُوا اللهَ الَّذِي لَهُ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ [رواه البخاري]

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk berhaji, lalu ia meninggal dunia sebelum ia melaksanakan haji, apakah saya harus menghajikannya? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya hajikanlah untuknya, bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki tanggungan hutang, apakah kamu akan melunasinya?” Ia menjawab: “Ya.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tunaikanlah hutang (janji) kepada Allah, karena sesungguhnya hutang kepada Allah lebih berhak untuk dipenuhi.” [HR. al-Bukhari]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ [رواه مسلم]

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya.” [HR. Muslim]

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللهِ فِي الْحَجِّ وَهُوَ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحُجِّي عَنْهُ [رواه مسلم والجماعة]

Artinya: Bahwasanya seorang wanita dari Khas’am berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Ya Rasulullah sesungguhnya ayahku telah tua renta, baginya ada kewajiban Allah dalam berhaji, dan dia tidak bisa duduk tegak di atas punggung unta. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hajikanlah untuk dia.” [HR. Muslim dan jamaah ahli hadis]

جَاءَ رَجُلٌ مِنْ خَثْعَمٍ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَبِي أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ رُكُوبَ الرَّحْلِ وَالْحَجُّ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ أَنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ أَكَانَ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاحْجُجْ عَنْهُ [رواه أحمد]

Artinya: Seorang laki-laki dari bani Khas’am menghadap kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: Sesungguhnya ayahku masuk Islam pada waktu ia telah tua, dia tidak dapat naik kendaraan untuk haji yang diwajibkan, bolehkan aku menghajikannya? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah kamu anak tertua?” Orang itu menjawab: Ya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bagaimana pendapatmu jika ayahmu mempunyai hutang, lalu engkau membayar hutang itu untuknya, apakah itu cukup sebagai gantinya?” Orang itu menjawab: Ya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka berhajilah untuk dia.” [HR. Ahmad]

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis tersebut di atas. Ada yang berpendapat bahwa hadis-hadis tersebut bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran. Oleh karena itu, hadis-hadis tersebut tidak dapat diamalkan. Hadis-hadis itu zhanni sedangkan ayat al-Qur’an qath’i. Pendapat ini didukung oleh ulama Hanafiyah. Ulama lain seperti Ibnu Hazm berpendapat bahwa hadis ahad mempunyai kekuatan qath’i sehingga dapat mengecualikan atau mengkhususkan ayat al-Quran. Pendapat ketiga dikemukakan oleh ulama Mutakallimin khususnya ulama Syafiiyah yang mengatakan bahwa hadis Ahad apalagi hadis Mutawatir dapat mentakhsis atau mengecualikan ayat-ayat al-Quran. Oleh karena itu, menurut mereka anak bahkan orang lain pun dapat melaksanakan haji atas nama orang tuanya atau orang lain. Pelaksanaan haji yang demikian ini disebut “badal haji” atau “haji amanat”.

Sejauh yang dapat dipahami dari pendapat di kalangan ulama Tarjih Muhammadiyah, hadis Ahad dapat mentakhsis ayat al-Quran, yakni sebagai bayan (penjelas). Contohnya dalam masalah wakaf, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menetapkan bahwa orang yang berwakaf akan tetap mengalir pahalanya sekalipun ia telah meninggal dunia berdasarkan hadis riwayat Muslim yang menyatakan bahwa apabila manusia meninggal dunia putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selalu mendoakan kedua orang tuanya, sebagaimana dikutip di atas. Hadis ini secara lahiriyah tampak bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran tersebut di atas, namun hadis ini juga dapat diartikan sebagai takhsis (pengkhususan) atau bayan (penjelas) terhadap ayat-ayat al-Quran tersebut.

Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis serta keterangan di atas, maka haji bagi seseorang yang telah memenuhi kewajiban haji tetapi tidak dapat melakukannya karena uzur atau karena sudah meninggal dunia padahal ia sudah berniat atau bernadzar untuk menunaikan ibadah haji, hanya dapat dilakukan oleh anak dan saudaranya (ahli warisnya) pada asyhuru al-hajj (musim haji), hanya saja pengganti harus telah berhaji terlebih dahulu, sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini:

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِسْمَعِيلَ الطَّالَقَانِيُّ وَهَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ الْمَعْنَى وَاحِدٌ قَالَ إِسْحَقُ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ عَزْرَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ [رواه أبو داود وابن ماجه]

Artinya: … diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata labbaik (aku datang memenuhi panggilanmu) dari (untuk) Syubrumah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: Siapakah Syubrumah itu, ia menjawab: saudaraku atau kerabatku, lalu Rasulullah bertanya: Apakah kamu sudah berhaji untuk dirimu? Ia menjawab: Belum. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berhajilah untuk dirimu (terlebih dahulu) kemudian kamu berhaji untuk Syubrumah.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah]

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here