Tarjih

Tarjih

MediaMU.COM

Apr 30, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Q & A AD-DIN 28: Tentang Hadis Dha’if

Question: apakah itu hadis dhaif dan bagaimanakah hukum menjadikan nya rujukan dalam kehidupan sehari-hari?

Answer: Hadits merupakan sumber hukum Islam yang berasal dari baginda Nabi besar Muhammad saw. Yang mana hadits merupakan sumber hukum terkuat setelah firman Allah saw yakni Al-Qur’an. Hadits diperoleh atau didasarkan kepada perbuatan, perkataan dan pernyataan dari pada Nabi Muhammad saw yang mengarah kepada hukum Islam. Hadits sendiri memiliki tingkatan-tingkatan yakni Hadist shahih, hadits hasan dan Hadist dhaif. Hadits dha’if merupakaan hadits yang tidak memenuhi kriterua penerimaan hadits ataupun sifat-sifat dari sang perawi hadits yang tidak memenuhi sebagaimana hadist shahih maupun hadist hasan. Adapun penyebab suatu hadist dapat dikatakan dha’if ialah sanad atau sandaran nya yang tidak tersambung. Hadis dhaif dikatakan pula sebagai hadist yang paling lemah.

Menurut Muhammadiyah sendiri hadits dibagi pada tiga tingkatan di atas ialah hadits yang di peroleh dari ahli-ahli hadits. Dr. Subhi ash-shalih menjelaskan bahwa Imam Tirmidzi-lah ahli hadits pertama yang mencoba mengisyaratkan adanya konsep hadits hasan. Dan untuk hadits dha’if juga memiliki tingkatan-tingkatan ada yang dapat di terima ke dha’if annya karena tidak terlalu besar dan dan beralasan mengapa kita harus menerima nya, misalnya jalur periwayatnya yang banyak sesuai dengan kaidah umum agama.

Dalam hal ini, terdapat peningkatan manifestasi pada beberapa ungkapan orang: Hadits-hadits lemah atau dha’if dapat diamalkan untuk menjelaskan keutamaan. Ungkapan itu sendiri berevolusi dari atau menggemakan ungkapan serupa lainnya yang disumbangkan oleh tiga ulama besar bidang Hadis dan Fiqih, yakni Imam Ahmad (wafat 241H), Abdur Rahman Ibnu Mahdi (wafat 198H) dan Abdullah Ibnu al Mubarak (wafat 181H).H), yang dikatakan pernah berkata: “Ketika kita meriwayatkan hadits tentang halal dan haram, kita mengencangkan ceritanya dan ketika kita meriwayatkan keutamaan sedekah dan sejenisnya, kita melonggarkan ceritanya.” Yang dimaksud para ulama ini adalah dalam persoalan halal dan haram (masalah hukum), mereka mempersempit penyelesaian pada hadis dan menganggap hanya hadis yang disepakati saja yang shahih. Namun dalam hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal di luar hukum, seperti persoalan keutamaan amal dan akhlak, mereka juga menerima hadis-hadis yang tidak mencapai taraf sahih namun tidak disebut dha'if, khususnya hadis hasan. Oleh karena itu ungkapan di atas mengandung arti bahwa hadis dha'if dapat diterima karena fadhilah dan keutamaan amal. Ini adalah hadits yang keilahiannya tidak terlalu agung; dengan kata lain maknanya adalah Hadits dha'if yang entah kenapa naik menjadi Hadits Hasan Iil-ghairih.

Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih memutuskan sebelas aturan tentang Hadis. Unsur ketujuh dari aturan tersebut berbunyi: “Hadits lemah yang saling menguatkan hanya dapat dijadikan bukti jika terdapat banyak rantai penghubung dan tanda yang menunjukkan identifikasi sumbernya dan tidak bertentangan dengan Alquran dan hadis shahih.”Adanya aturan ini menjadi permasalahan bagi sebagian kalangan di lingkungan Muhammadiyah, karena aturan ini dianggap bertentangan dengan bagian lain dari hukum Tarjih yang menetapkan bahwa asal usul Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah Shahih. Mereka mengidentikkan Sunnah shahih dengan Hadis shahih dalam arti ilmu hadis. Berpegang teguh pada definisi Islam yang diambil dari Al-Quran dan Sunnah Sahih, serta menolak lemahnya kaidah Hadits yang disebutkan di atas, Dewan Tarjih Daerah di Jawa memutuskan pada tahun 1973 bahwa takbir Salat Idul Fitri hanya dilakukan satu kali.salat biasa, bukan 7-5, karena takbir ganda (7-5) berdasarkan Hadits lemah dan Majelis Daerah Tarjih menolak Hadits lemah sebagai dalil walaupun banyak dan taat menurut Sunnah Shahih (“SM” No.9, No.57,1977, hal.keduabelas). Sementara itu, Majelis Tarjih Pusat menyatakan bahwa Shahih Sunnah tidak sama dengan Shahih Hadits dalam pengertian ilmiah Hadis. Ketika kita berbicara tentang Sunnah Sahihah, yang kita maksud adalah Sunnah Maqbulah (hadits yang diterima) meskipun tidak sampai pada tingkat kesahihannya. Hadits-hadits tersebut mempunyai baris sanad yang banyak sehingga saling menguatkan sehingga menjadi hadits hasan li ghairih.

Pada tahun 1977 diadakan diskusi meja bundar mengenai kaidah hadis dha'if ini dan disimpulkan bahwa kaidah tersebut akurat dan dapat diterima serta tidak perlu diubah.(“SM” No.17l1977, halaman 16). Aturan tersebut kemudian ditegaskan dalam Muktamar Tarjih atas nasehat calon Nabi melalui ketekunan kalian dalam berdakwah bil hal. Oleh karena itu, kesimpulannya adalah: 1) Hadits dakwah tidak dapat dijadikan dalil dalam urusan hukum, termasuk ibadah, atau untuk menjelaskan keutamaan amal dan akhlak; 2) yang dapat dijadikan alat bukti adalah hadis shahih dan hasan li ghairih

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here